bahasa indonesia below
The East Timor and Indonesia Action Network (ETAN)
The Commission for the Disappeared and Victims of Violence (Kontras)
Joint Statement on Accountability in the Run-up to the Indonesian Presidential Elections
We are especially concerned about the well-documented human rights records of some of the candidates, including vice presidential candidates Prabowo Subianto and Wiranto. Prabowo, vice-presidential candidate for Megawati Sukarnoputri, was commander of Indonesia's special forces unit Kopassus from 1995 to 1998. Under his command, Kopassus kidnapped and disappeared a group of student activists during the last part of the dictator Suharto's rule. For this, he was later forced to retire by a military court. He also presided over brutal actions by Kopassus in occupied East Timor, including the torture, kidnapping and killings of independence supporters.
Wiranto, vice-presidential candidate for Jusuf Kalla, was commander of Indonesia's military during the tumultuous period of 1998 and 1999, when Suharto was pushed from power by widespread demonstrations and elite disillusionment with his rule. The military and its militias wreaked havoc in East Timor during its vote for independence. For his role, Wiranto was indicted for crimes against humanity by the UN-backed serious crimes process.
Kontras and ETAN are concerned that should either of these candidates assume office, their past crimes will impede the next president's ability to satisfactorily resolve outstanding cases of human rights violations by Indonesia's security forces and hinder the critical movement toward military reform and accountability. Almost certainly Wiranto and Prabowo's own impunity would continue for human rights and war crimes.
Under the current Yudhoyono administration, progress in the major human rights cases has been halting at best and military reform efforts have stalled. Also a former general, he has shown only a limited commitment to expanding human rights. Human rights violations have escalated in Papua. The involvement of the highest levels of the government's intelligence agency in the assassination of human rights activist Munir, who was murdered just prior to Yudhoyono taking office, has yet to be satisfactorily resolved. President Yudhoyono once declared the Munir case a "test case for whether Indonesia has changed."
As the legal process has stalled in a number of important cases, the installation of a presidential team which respects human rights and can inject new momentum into these cases is critical. The international community can greatly assist efforts for genuine accountability and military reform by restricting military assistance to Indonesia. Together Indonesia's government, its citizens, and the international community must push for human rights accountability no matter who assumes office.
Contact:
Usman Hamid (Indonesia) +62 811 812 149
John M. Miller (United States) +1-718-596-7668; +1-917-690-4391
Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS)
East Timor and Indonesia Action Network (ETAN)
Pernyataan bersama tentang akuntabilitas dalam pemilihan presiden Indonesia
Seiring dengan persiapan Indonesia menghadapi pemilihan presiden langsung keduanya pada 8 Juli 2009, the East Timor and Indonesia Action Network (ETAN) dan Komisi untuk orang hilang dan korban tindak kekerasan (KontraS), bersama mendorong pemerintah Indonesia, warganya, dan komunitas internasional untuk mengingat pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di masa lampau dan untuk mendorong pemerintah Indonesia agar mengakhiri impunitas pelanggaran HAM.
Kami sangat prihatin dengan catatan HAM- yang terdokumentasikan dengan baik- dari beberapa kandidat, termasuk kandidat Wakil Presiden Prabowo Subianto dan Wiranto. Prabowo, kandidat Wakil Presiden untuk Megawati Sukarnoputri, adalah komandan komando pasukan khusus (Kopassus) dari tahun 1995-1998. Dibawah pimpinannya, Kopassus menculik dan menghilangkan sekelompok aktivis mahasiswa pada masa akhir kepemimpinan diktator Suharto. Karena ini, ia dipaksa untuk pensiun oleh pengadilan militer. Ia juga terlibat dalam tindakan brutal Kopassus di wilayah okupasi Timor Timur, termasuk penyiksaan, penculikan dan pembunuhan terhadap pendukung kemerdekaan.
Wiranto, kandidat Wakil Presiden untuk Jusuf Kalla, adalah Panglima Angkatan Bersenjata pada masa bergejolak 1998-1999, ketika Suharto dijatuhkan dari kekuasaan oleh demonstrasi yang meluas dan disilusi elit pada kekuasaannya. Militer dan milisinya melancarkan kekacauan di Timor Timur pada masa referendum kemerdekaan. Untuk perannya ini, Wiranto dituduh kejahatan atas HAM melalui proses peradilan kejahatan serius yang disokong oleh PBB.
Kontras dan ETAN prihatin bila salah satu kandidat ini berhasil menang, maka kejahatan masa lalu mereka akan menghalangi kemampuan presiden selanjutnya untuk menyelesaikan kasus kasus besar pelanggaran HAM masa lalu yang dilakukan oleh angkatan bersenjata Indonesia, serta menghalangi gerakan kritis terhadap reformasi militer dan akuntabilitas. Hampir dipastikan impunitas Wiranto dan Prabowo akan terus berlangsung dalam pelanggaran HAM dan kejahatan perang.
Dibawah pemerintahan Yudhoyono yang sedang berjalan, perkembangan kasus-kasus HAM besar terhambat dan upaya reformasi militer tersendat. Sebagai mantan Jendral, ia menunjukkan komitmen terbatas dalam penegakkan HAM. Pelanggaran HAM meningkat di Papua. Keterlibatan pejabat tinggi badan intelijen pemerintah dalam pembunuhan aktivis HAM, Munir, yang terbunuh beberapa saat setelah Yudhoyono memangku jabatan, belum terselesaikan secara memuaskan. Presiden Yudhoyono pernah mengatakan "kasus Munir adalah suatu batu ujian seberapa besar Indonesia telah berubah."
Seiring terhentinya proses hukum beberapa kasus penting, pembentukan pasangan presiden yang menghargai HAM dan bisa menyuntikan momentum baru pada kasus ini adalah kritis. Komunitas internasional dapat membantu upaya upaya menegakkan akuntabilitas sejati dan reformasi militer dengan membatasi bantuan militer ke Indonesia. Bersama-sama, pemerintah Indonesia, warganya, dan komunitas internasional harus mendorong akuntabilitas HAM, terlepas siapapun yang memangku jabatan.